Selasa, 05 Februari 2013

Ekonomi dan pertahanan


Pada dasarnya urusan militer tidak selalu berkaitan dengan politik-kekuasaan dan bisnis tentara. Urusan pertahanan negara sebenarnya jauh lebih rumit, yaitu bagaimana mempertahankan negara serta kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di tengah kondisi keterbatasan sumber daya (investasi, infrastruktur, teknologi) dan kebutuhan tata kelola pertahanan secara efisien dan efektif. Hal inilah yang diangkat Muhammad Haripin, MHan, kandidat peneliti bidang perkembangan politik nasional Pusat Penelitian Politik (P2P-LIPI), dalam seminar intern berjudul ”Mengelola Ekonomi Pertahanan Indonesia: Studi Awal tentang Anggaran Pertahanan dan Alat Utama Sistem Persenjataan” pada 26 April 2011.
Mengawali paparannya Haripin mengungkapkan bahwa ekonomi pertahanan, secara umum, merupakan cabang studi pertahanan yang mengeksplorasi dimensi ekonomi dan manajemen dari sistem pertahanan negara. Dalam kerangka penataan institusi dan sistem politik demokratis, ekonomi pertahanan merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan di mana entitas ekonomi dan pertahanan mesti turut dipikirkan secara simultan demi kesejahteraan sekaligus keamanan warga negara. Sampai saat ini belum banyak literatur yang membahas tentang ekonomi pertahanan, baik secara teoretis maupun uraian studi kasus pertahanan Indonesia kontemporer. Untuk itu, melalui makalahnya, Haripin berharap dapat memperkaya khazanah literatur tentang ekonomi pertahanan, sekaligus mendeskripsikan manajemen pertahanan dan alutsista di Indonesia.
Salah satu isu utama dalam ekonomi pertahanan adalah anggaran untuk belanja militer (military expenditure/ milex). Komponen milex merentang dari belanja pegawai hingga perawatan dan pengadaan alutsista. Perdebatan klasik yang terjadi dari dahulu hingga sekarang adalah penentuan besaran milex dibandingkan anggaran untuk sektor publik yang lain, misalnya, kesehatan dan pendidikan. Dalam konteks inilah muncul perdebatan guns vs butter, yaitu dilema atau ketegangan di antara para perumus kebijakan anggaran di lembaga legislatif dan eksekutif dalam memberikan prioritas apakah pertahanan (guns) menerima anggaran lebih banyak dibandingkan sektor kesehatan dan pendidikan (butter), atau sebaliknya. Persoalan lain terkait anggaran pertahanan adalah persentase ideal milex dibandingkan produk domestik bruto (PDB). Tidak ada kesepakatan atas persoalan ini karena setiap negara memiliki perhitungan dan pertimbangan masing-masing. Terlebih, hal yang penting sebenarnya bukan pada persentase, tapi pada jumlah total PDB itu sendiri. Isu penting lain dalam milex adalah persoalan tata kelola. Transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi merupakan prinsip-prinsip kunci dalam pengelolaan anggaran militer.
Isu lain dalam ekonomi pertahanan adalah manajemen pengadaan alutsista atau weapons acquisition. Tiga faktor penting yang mempengaruhi manajemen pengadaan alutsista, yang dalam perkembangannya akan mewarnai proses pengadaan karena sifatnya yang mendasar bagi konteks manajemen alutsista, adalah ekonomi, politik, dan doktrin. Faktor ekonomi berkaitan dengan anggaran yang tersedia dan rencana makro pertahanan negara (grand strategy). Isu yang mencuat adalah berapa jumlah anggaran pertahanan yang dialokasikan khusus untuk alutsista dan pengintegrasian atau pada kadar tertentu, sinkronisasi kebijakan pertahanan dengan kebijakan perdagangan serta industri. Faktor politik berhubungan dengan tata kelola kepentingan para pemangku kepentingan sektor pertahanan, yaitu pemerintah, parlemen, angkatan bersenjata, perusahaan swasta, dan masyarakat sipil. Sedangkan pada level nternasional, pertimbangan politik pun mencakup kemungkinan respon negara lain, terutama negara tetangga, terhadap kebijakan pengadaan alutsista, karena kemungkinan adanya penilaian bahwa pengadaan, atau bahkan modernisasi, alutsista memicu dilema keamanan dan cermin tindakan agresif. Faktor doktrin adalah pengadaan alutsista mengikuti petunjuk dalam doktrin yang ditetapkan sebelumnya oleh masing-masing matra (darat, udara, dan laut) dan rencana besar sistem pertahanan negara.
Hal penting lain yang perlu dijelaskan dalam proses pengadaan alutsista adalah alasan strategis dari pemerintah atas kebijakan pengadaan alutsista. Ada tiga basis atau alasan strategis pengadaan senjata dilakukan, yaitu karena adanya ancaman; karena sudah habis masa pakai, membahayakan, rusak, atau karena program modernisasi alutsista; dan atas dasar rencana makro dan berkelanjutan, baik dalam hal pendanaan maupun implementasi proyek, tentang ekspektasi kapabilitas angkatan bersenjata. Secara garis besar, ada dua strategi yang bisa dilakukan negara dalam melakukan pengadaan alutsista, yaitu produksi dalam negeri dan impor. Namun, pada dasarnya tidak ada ”resep manjur sekali tenggak” bagi keperluan alutsista negara. Dalam banyak kasus, negara-negara di dunia –terlepas dari status negara maju, berkembang, dan terbelakang- mengombinasikan dua strategi di atas. Hal ini tidak terlepas dari konteks globalisasi yang tengah melanda dunia dan perhitungan untung-rugi yang sifatnya politis dan teknis.
Terkait anggaran pertahanan dan alutsista Indonesia, Master Studi Pertahanan program kerjasama Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Cranfield University (2010) ini menyebutkan bahwa pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2000-2010) anggaran pertahanan Indonesia secara bertahap mengalami kenaikan lebih dari 300 persen. Jika pada tahun 2000 pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 10,5 triliun, maka pada 2010 menggelembung hingga Rp. 42,9 triliun dan menjadi Rp. 47,5 triliun atau 3,86% dari jumlah total APBN pada 2011. Namun, sebagaimana yang diakui sendiri oleh Kementerian Pertahanan, anggaran pertahanan pada 2005-2008 banyak terserap ke pos belanja rutin, yaitu sekitar 67%, padahal keperluan yang lebih mendesak adalah pengembangan postur pertahanan dan peningkatan kapabilitas alutsista, atau pembangunan pertahanan yang hanya mendapat sisanya.
Bagaimanapun pemerintah sadar bahwa anggaran pertahanan masih jauh dari angka ideal. Jika dihitung berdasarkan luas wilayah dan ruang lingkup potensi ancaman eksternal (laut, udara, darat), jatah anggaran untuk pembangunan pertahanan tidak akan mencukupi kebutuhan perlindungan teritori dan penangkalan ancaman tersebut. Selama sepuluh tahun terakhir, rata-rata jumlah anggaran pertahanan masih kurang dari 1% dari PDB, meskipun nominalnya memperlihatkan peningkatan. Selain itu, masih terkendala dari ketidaksiapan alutsista TNI dalam melakukan operasi latihan atau tempur. Namun demikian, fokus kepada peningkatan anggaran dan modernisasi alutsista merupakan dua agenda penting yang saling terkait.
Menutup uraiannya, alumnus Ilmu Politik Universitas Indonesia (2007) ini mengungkapkan bahwa saat ini arah pengelolaan alutsista di Indonesia menunjukkan tren yang positif. Namun agar menjadi lebih baik, pemerintah melalui Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang dibentuk tahun 2010, perlu membuat dokumen yang mengatur pengelolaan alutsista secara komprehensif, terutama menyangkut rencana produksi dan penganggaran, tata cara pengadaan, perawatan dan pensiun alutsista (grounded), serta pemetaan tentang kebutuhan infrastruktur. Rancangan Undang-Undang (RUU) Revitalisasi Industri Pertahanan bisa menjadi pintu masuk bagi penyusunan dokumen tersebut di mana UU memberikan amanat kepada KKIP untuk membuat semacam Buku Putih Industri Pertahanan Indonesia, mengikuti Buku Putih Pertahanan Indonesia, dengan penjelasan mengenai ’alur pembangunan alutsista’ atau ”Defence Line of Development” seperti di Inggris. Dengan dokumen tersebut diharapkan strategi pembangunan pertahanan nasional secara umum dan strategi pengelolaan alutsista secara khusus, memiliki rencana kerja yang jelas, terukur, serta dipahami oleh segenap pemangku kepentingan di sektor pertahanan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar